Jumat, 16 Mei 2014

Ketika Kau Menyapa



Untuk Gadis Ilalang


Aku mungkin tak cukup mampu mengingat tiap inci peristiwa yang menyebabkanku mengenal namamu, bahkan aku tak tahu darimana kita mengawali kata sebagai perkenalan. Namun aku masih ingat kehangatan-kehangatan anak-anak kalimat yang kita lahirkan dari bibir-bibir polos kita. Awalnya kukira kau tak lebih seseorang yang sekedar mampir mengisis kebosanan, setelah itu menghilang. Tak sedikitpun aku berfikir kau akan datang lagi besok, bahkan aku tak pernah berharap kau mengingat namaku sekedar untuk menyapaku kertika kita bertemu lagi. Tapi esok hari kau kembali datang, menyapaku dengan nama yang sangat manis, kau sebut aku dengan “Hilwa”, kau mungkin tak tahu isi kepalaku ketika itu, menganggapmu gadis yang sok akrab dengan orang baru.
Ku terima ajakanmu mencipta percakapan tentang apa saja yang kau mulai, dengan cara yang sangat sederhana. Bukan hal berlebihan jika aku menerima kedatanganmu dengan sekenanya saja. Sekenanya saja! Kau tahu? Sudah kualami peristiwa “Ditinggalkan” setelah kuanggap dia lebih dekat daripada bayanganku sendiri. Sejak itu aku mulai membangun keangkuhan dalam diriku, memilih berlari dari kata “sangat dekat” dan menghampiri “menjaga jarak”. Tanyakan pada siapa saja yang pernah merasainya! Maukah ia kejadian itu terulang lagi?

Dan kau.. kau tak perduli akan hal itu, fikirku kau memang sedang tidak paham sedang ada apa denganku? Kau tetap berjalan dibelakangku, mengikutiku tiap hari, bahkan ketika aku sakit kau datang menunjukkan simpatimu padaku. Apa kau tahu? yang kau lakukan itu membingungkanku harus senang ataukah benci, perhatian kecil itu menajamkan kembali ingatanku pada hal yang sedang berusaha keras kutuntaskan dalam ingatan. Kau tak cukup sampai disitu, kau kembali mengajakku bercerita banyak, bercerita tentang masa kecil, tentang hujan, tentang musim, pantai, bunga, teh kehidupan, dan banyak lagi. Hal ini entah sejak kapan kusadari bahwa cerita kita begitu hidup, Perlahan-lahan kau mulai tampak sangat manis. Kita bercerita tentang rasa, kau bilang mungkin kita dipertemukan sebab rasa yang sama. Bercerita tentang mimpi-mimpi, lalu kita sama-sama sepakat kita adalah gadis-gadis pemimpi, dan tentang masa lalu kau mengajakku untuk menjenguknya setahun sekali saja, saat idul fitri tiba. Yang mengajarku lebih bijak berkata “tak apa” ketimbang memaksa sebab percuma, tak akan dapat apa-apa. Yang menolak kata “terimakasih” karena terlalu sering kuungkap, Yang ketika aku bertingkah bodoh hanya tertawa sambil mengacak-acak rambutku, bentuk kasih sayang katamu. Yang hampir tiap hari memberiku kejutan, bertanya tentang kabarku, hati dan perasaanku.
 Ku ungkapkan bahwa kau sangat pandai mencipta hal baru, kau pandai mencipta tawa tapi tegas kau katakan bahwa antara kita dilarang tersanjung, cukup dinikmati saja. Yang akan menembus pagi buta demi memberi kabar dan janji yang tertunda, ah betapa setianya! Kita masih asyik bercerita tentang kita, tentang daun-daun dan maknanya yang luas, tentang rumah pohon untuk berbaring sambil bercerita disana, tentang ilalang yang maknanya kau simpan sendiri, tentang gerimis dan hujan yang menguapkan kerinduan, tentang pantai dan ombaknya, tentang kita yang asyik dalam dunia persembunyian. Kau bilang kita tak perlu Nampak oleh mereka, kita cukup diam-diam saja dalam persembunyian sebab kita akan lebih indah ketika kita hanya bercerita berdua, dan kurasa kita tak kalah indah oleh mereka yang terlihat. Kau ingat bagaimana kau saat itu mengajariku tentang masa lalu? Kau selalu berkata “Luaskanlah hatimu” kata-kata itu sangat dalam kurasakan, seolah sadar kembali bahwa hatiku memang begitu sempit akan arti takdir. Juga saat kau mendengarku sedang mencari cara memaafkan kau kembali bergumam “aku tahu hatimu luas untuk itu”. kudengar kata itu begitu tulus keluar darimu, aku haru.
Disatu pagi, kau suguhkan banyak permintaan untukku, mengingatkanku akan rumus pertemuan. Kau bilang aku telah banyak belajar dari masa lalu, karenanya tak usah takut akan perpisahan. Kufikir dihatimu telah tumbuh asa untuk melangkah perlahan, menjauhiku dan menyisakan bayang punggung saja, tapi kau cukup memaksaku membekap mulut ketika kudengar kau berkata “tak sedikitpun aku berniat pergi, kau akan tetap kugenggam. Aku adalah orang yang tak mudah melepaskan, melarikan diri atau apalah bentuk kepergian. Sudah, benahi hatimu! Hatimu terlalu lembut untuk memaki masa lalu”. Lalu apalagi yang harus kuucap kini selain kata “Jazakillah khair”?.

13.05.014
 Berpayungkan Cahaya Bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar